Minggu, 11 Maret 2012
Penderma Nafkah
Jika malam terus lekat
dengan kegelapan, akan kuurai dengan hangat mentari pagi, tunggu esok Aku
membuka jendela, lihatlah senyuman ibu diteras rumah, orang tua satu-satunya
yang kau punya, membesarkan dan menemani dalam sempit jalan itu..
Sebuah
pagi penuh elok lambaian dedaunan, embun kian menetes menkabuti semesta alam.
Buliran air itu terus menghujam kepada kerutan tanah coklat. Gumpalan debu
melekat di sela-sela alas sepatu. Debu yang masih kering menempel di permukaan
sepatu fantovel Aji. Sepatu itu
menggurat waktu yang tidak sedikit. Tampaknya ada banyak kisah terlukis dengan
rapi. Aku menjawab salam dari meja kerja. Tidak lama kemudian derit pintu
membisingi ruangan 3x4 meter. Ruangan yang terasa sempit namun luas pendermaan
kepada jiwa-jiwa perindu nafkah. Aku melihat sosok Aji sangat nanar.
“Akhirnya
kau kembali”., gumaman dalam hati selintas ketika Aji canggung menduduki kursi
tepat dihadapanku. Gumaman itu tidak sampai terdengar oleh labirin sepasang
telinga Aji.
“Silakan
duduk Aji, bagaimana dengan kabar ibumu?”., Aku sedikit menenangkan kegalauan
dari mata yang sedari tadi nanar. Kemarahan kepada diri sendiri atas dosa yang
sudah tertulis di selembar kertas pemberhentian hari kerja dua bulan lalu. Raut
wajahnya sangat lekat ketika Aku menyodorkan secarik kertas itu. Aji sangat
layu atas beban berat yang disandangnya. Beberapa kali menyebut nama Ibunya,
sebuah pertanggungjawaban yang harus di pikul dengan kaki terseok-seok. Langkah
berat untuk mengurai senyuman orang tercinta. Pelita kehidupan sampai saat Aji
mendapatkan pekerjaan layak di kantor ini.
Layar sudah
dikembangkan untuk memadamkan terpaan angin, debur gelombang dan hitamnya
langit di kerinduan nafkah, Aku menarik tali temali, mengingatkan pada
kesadaran jiwa, lalu memompa genangan air keluar dari perahu itu,menyelamatkan
jiwa khas kearifan.
“Aji,
jika Aku mengingat ketidakarifanmu, tak akan kuberikan kesempatan untuk
menginjakan kaki di pintu ruangan ini, sebuah pojok kecil dari tempatku mengais
rejeki, karena banyak orang berbondong-bondong menyodorkan lamaran pekerjaan,
tapi kau masih ku ijinkan kembali. Kau bungkus dosa lalumu itu”, Aku tidak
sampai hati melihat Aji tergolek di tengah perjalanan. Berjalan tanpa
pengharapan sebuah nafkah. Bagaimana Aku legowo melihat Aji setiap pagi
mengenakan baju kantor ini. Bersalaman dengan ibunya yang selalu berlinang suka
cita. Cinta seorang ibu, kebanggaan tiada terlukiskan kalimat apapun. Senyuman
hangat disela-sela balasan salam. Matanya tertuju pada punggung Aji yang kian
menjauhi rumah lalu hilang diperempatan jalan. Aji melaju dengan sebuah
harapan. Berhasil naik kelas sehingga gaji bulan berikutnya cukup untuk
membahagiakan ibunya. Membayar cicilan dua istana. Istana kemaksulan kerja
keras Aji. Istana rapuh diujung perahu. Aji hampir gagal mendayung atas deburan
ombak penghianatan. Kelopak mata Aji mulai pudar. Sisi bagian bawah menggurat
jauh kedalam.
***
Dermaan yang sudah kusodorkan, akan menjadi
lukisan indah dikehidupan Aji. sebuah maaf dari jiwa tersakiti oleh uraian langkah
hitam. Pelatuk keji hampir saja merobohkan kokoh perusahaanku. Deruan
penghinaan atas tonggak perusahaan. Aji mencabik-cabik falsafah tempatnya
bekerja. Berat tanganku untuk menandatangi surat kembalinya Aji. Tapi Aku
atasan diperusahaan ini. Aku harus berfikir dari banyak sisi. Kalau tidak
mengingat betapa arifnya Aji sebelum kejadian hitam itu, tangan ini tetap kokoh
dalam kepalan. Garis-garis hitam nihil terlihat pada lembaran surat itu. Aku
tidak sampai hati melihat Aji mengenakan baju perusahaan ini setiap pagi,
sedangkan itu membohongi ibunya. Memberi lembaran uang dari hasil pinjaman. Aku
tidak sampai hati!.
Sejenak
ukiran tandatangan itu tersemat di kertas sebuah harapan, Aji bergegas bangkit
lalu memeluk tubuhku erat-erat. Alunan tangis menelusuri setiap pojok kantor.
Beberapa karyawan sontak mendatangi ruang kerjaku. Aku hanya menyunggingkan
senyum. Tidak banyak yang kuutarakan menjelang kembalinya Aji di perusahaan
ini. “Aji, pakailah baju kerjamu untuk kekantor ini”., buraian air mata Aji
semakin semangat. Aji tidak lekas mengusap tetesan air di sekitar pelupuk
matanya. Aji bergegas menuju ruang kerjanya yang sudah beberapa bulan menjanda,
tanpa sentuhan Aji.
***
Ketika
pucuk-pucuk daun mengibas senyuman Aji, sore sudah terpaku diatas mega. Aku
menuju mobil untuk mengantar Aji pulang kerumahnya. Aku melipur jiwa-jiwa penuh
duka. Kukabarkan segala laku Aji kepada Ibunya. Tangis tertahan hingga pelukan
menyemat ditubuhku. Pelukan kedua setelah Aji mendahului di kantor tadi pagi.
Ibu Aji hanya mengisakan sedikit keparauan. Memaafkan kebohongan anaknya
beberapa bulan yang telah berlalu.
Kabut
dipekarangan nafkah mulai memudar, kirab suka cita menghadirkan keindahan
berbagi maaf. Aku memberi kesempatan kepada jiwa perogoh nafkah yang sembuh
dari layu. Seperti dahulu Aku terlahir pada malam-malam penuh penistaan
bintang. Mencaci cahaya rembulan sampai larut pagi. Terlahir dalam sempitnya
nafkah orang tua. Sampai Aku beranjak dewasa dan mencari uang untuk biaya
kuliah. Singgah dipojok masjid untuk menyambung hidup. Menerima sedikit rupiah
dari hasil menyiangi rerumputan, menyapu dan mengajari ngaji anak-anak setiap
hari. Aku sangat lekat dengan perjuangan. Merangkak dari nol kilometer hingga
akhirnya mengibarkan nama perusahaanku.
Kini
Aku menyadari indahnya peduli kepada sesama, memberi peluang untuk terus
berkarya dan mendapatkan nafkah. Menghidupi keluarga dari jiwa yang mengokohkan
perusahaan. Nikmat berbagi maaf atas kehitaman laku.
......Tiada harkat dalam kehidupanku tanpa
menderma nafkah kepada mata yang terus melihat, merajut doa dan menyungging
suka cita....
Lampung, 6
Februari 2012 (True Story)
Label: Cerpen, FTS, Hermawan, Penderma Nafkah
I LOVE YOU 17.13